GERAKAN KHARISMATIK

PENDAHULUAN

Sering terjadi orang merasa “alergi” bila mendengar Gerakan Kharismatik disebut-sebut, entah mengapa ? Barangkali jawabannya adalah karena gerakan ini sering diidentikkan dengan semangat pemberontakan terhadap nilai-nilai yang termasuk mapan ditengah-tengah gereja yang tergolong dalam “mainline churches” termasuk joslf_content. Percakapan dan komentar terhadap kelompok yang satu ini memang sering terjadi tapi sebatas kulit luar. Karena itu wajar-wajar saja kalau percakapan yang seperti itu akan berakhir dalam “penghakiman”.

“Gerakan Kharismatik” berbahaya, merusak dan sesat. Apalagi kalau dikaitkan dengan baptisan ulang yang menjadi ciri khas mereka, walaupun itu ditentang oleh YPPI dan PII sebagai organisasi keagamaan yang jelas-jelas berwarna kharismatik.

Ada beberapa hal yang akan disoroti sehubungan dengan gerakan yang satu ini. Pertama, apakah gerakan kharismatik itu ? Sejak kapan dia muncul dan apa penyebabnya ? Apa penekanan-penekanan utama mereka dan bagaimana seharusnya kita bersikap ?

1. Apakah gerakan kharismatik itu
Gerakan Kharismatik atau Pentakosta Baru adalah gerakan yang menggunakan ide-ide atau praktek-praktek gerakan pentakosta. Maksud dan tujuan gerakan ini adalah memberikan pengalaman iman yang baru dengan lebih intensip dalam kehidupan warga jemaat yang disertai beragam rupa-rupa karunia yang tidak lazim dalam gereja yang sudah mapan, waktu itu.

2. Sebab-sebab lahirnya Gerakan Kharismatik
Modernisasi yang mendatangkan kemakmuran ternyata tidak otomatis mendatangkan kebahagiaan seperti yang dibayangkan. Kemakmuran yang pada mulanya dibayangkan identik dengan kebahagiaan hidup, ternyata keliru. Hal di atas tidak hanya mendatangkan kekecewaan tapi sekaligus kebingungan.

Kemajuan dan kemakmuran ternyata menciptakan ruang kosong dalam hati manusia yang tidak bisa diisi apalagi dipuaskan oleh kemakmuran itu sendiri. Di satu sisi diakui bahwa kemakmuran mampu mengisi ruang di luar manusia tapi disisi lain gagal mengisi ruang dalam hati manusia.

Disamping itu kekacauan Theologis yang terjadi di Eropah dan Amerika dengan “God is Dead” (Tuhan sudah mati) dan rupa-rupa penyakit yang disebabkan oleh kedangkalan hidup religius menjadi ladang yang subur bagi berkembangnya gerakan ini.

Tambahan lagi bukan hanya kemakmuran yang dianggap gagal mengobati rasa kecewa diatas tapi juga pelayanan gereja. Pelayanan gereja yang kurang baik khususnya di bidang penggembalaan, penekanan yang amat sangat terhadap liturgi yang baku lagi kaku, suasana ibadah yang suam-suam kuku dan atau tak acuh turut menyuburkan tumbuhnya gerakan ini.

Disatu pihak harus diakui bahwa ada hal-hal yang positip yang disumbangkan oleh gerakan ini kepada gereja. Mulai dari hidup yang menekankan pentingnya pertobatan, hangatnya persekutuan, pentingnya berdoa sampai pada penemuan kembali kharisma-kharisma. Di pihak lain juga harus disadari bahwa tidak sedikit hal-hal yang “aneh” atau negatip yang disumbangkan gerakan ini seperti misalnya :

1) Luapan emosi dan doa yang ramai
Umat yang terbiasa dengan ibadah yang tenang (homi) akan menjadi terheran-heran bila mengikuti kebaktian kelompok ini. Mengenai suasana yang penuh dengan emosi dan doa yang ramai ini salah seorang pemimpin kharismatik, Als.R.Hay, berkomentar :
“benar pekerjaan Roh Kudus dapat membangkitkan emosi tapi emosi tidak pernah dapat membangkitkan pekerjaan Roh Kudus”. Sungguh mengherankan kelompok yang amat sangat menekankan kembali ke Alkitab justru tidak melandaskan aktivitas doa yang ramai, kacau lagi lepas kontrol itu dari Alkitab. Sebab dalam Alkitab baik PL maupun PB tak satupun aktivitas kebaktian yang mencerminkan suasana ibadah dan cara berdoa yang seperti itu.

Yesus sendiri tidak pernah menganjurkan cara berdoa dengan model seperti itu. Sebaliknya dalam soal berdoa Yesus amat sangat menekankan ketenangan (Mat. 6:5, Mat 4:23). Juga dalam praktek peribadahan, sampai pada masa Yesus corak peribadahan yang ramai lagi kacau tidak ditemukan (Luk. 4:16 dst). Sehingga pertanyaan kita sekarang adalah atas dasar apa semuanya itu dilakukan ? tambahan lagi jika Roh Kudus sungguh-sungguh hadir, sebagaimana sering diklaim, bukankah yang terjadi justru ketertiban.

2) Bahaya mengisolir diri / perpecahan
Bahaya yang tampak jelas dari kelompok ini adalah kecenderungan untuk memisahkan diri dari gerejanya. Gerejanya dipandang tidak kudus lagi dan karena itu harus dijauhi. Persekutuan yang benar sebagaimana selalu diindoktrinasikan adalah bukan di gereja yang sudah mapan tapi di persekutuan mereka yang baru tumbuh. Akibatnya jelas terjadi pengkotak-kotakan yang cenderung memecah belah gereja.

Pertanyaan kita sehubungan dengan gejala pengkotak-kotakan itu adalah pekerjaan pekerjaan siapakah ini ? Adakah itu pekerjaan Roh Kudus (Gal. 5 : 19 – 23) ? Jawabnya sudah tentu tidak (Ef. 4 : 1- 5 ; Yoh. 17 : 21).

3) Penekanan pentingnya karunia-karunia
3.1. Bahasa Roh
Secara Alkitabiah dan selaku orang beriman kita tidak akan pernah meragukan apalagi menyangkal keberadaan karunia-karunia, khususnya karunia berbahasa roh dan karunia penyembuhan.

Pertanyaan kita sehubungan dengan yang pertama adalah, seperti apa itu bahasa roh ?

Sayang sekali dalam Alkitab tidak ditemukan keterangan yang jelas seperti apa itu bahasa roh. Dalam kesaksian Alkitab ada dua hal yang kita temukan sehubungan dengan bahasa roh.

Pertama, dari mana sumbernya, dan kedua untuk tujuan apa ia dikaruniakan. Dalam 1 Kor. 12 : 12 – 31 disebutkan bahwa bahasa roh (glosolali) adalah salah satu karunia, jadi bukan satu-satunya karunia, sebagai pertanda hidup yang dikuasai Roh Kudus. Kecenderungan yang ada sekarang justru sebaliknya. Yang sering diajarkan sekarang adalah apabila seseorang diurapi oleh Roh Kudus ia otomatis akan berbahasa Roh. Tanda diurapi oleh Roh Kudus, kata mereka, adalah dapat Berbahasa Roh. Ajaran ini jelas-jelas bertentangan dengan Firman Allah sebagaimana tercantum dalam 1 Kor. 12 dan bertolak belakang dengan isi dari Gal. 5 : 22 – 23 dan juga jelas-jelas ajaran ini membatasi pekerjaan Roh Kudus itu sendiri.
Menurut laporan yang tertulis dalam 1 Kor. 14 Rasul Paulus agaknya menemukan kecenderungan penyelewengan terhadap bahasa yang satu ini dalam peribadahan, pada waktu itu. Itulah sebabnya dia mengingatkan dalam ayat 27-28 : “Jika ada yang berkat-kata dengan bahasa Roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang dan harus ada orang lain yang menafsirkannya. Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata dengan dirinya sendiri kepada Allah”. Lalu apa yang kita temukan sekarang ?

Yang terjadi sekarang adalah semua Jemaat berlomba-lomba berbahasa “aneh” yang diklaim sebagai bahasa Roh, tidak punya aturan, tidak ada orang yang menafsirkannya.
Persis seperti yang pernah ditegur oleh Paulus dulu karena memang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.

3.2. Disamping amat menekankan pentingnya bahasa Roh hal lain yang menjadi ciri khas mereka adalah menekankan pentingnya karunia penyembuhan. Sayangnya karunia yang pada mulanya dimaksudkan sebagai sarana atau alat dalam penginjilan, sekarang cenderung berubah menjadi tujuan. Karena itu tidaklah terlalu mengherankan kalau karunia-karunia, khususnya penyembuhan, sering dipaksakan dan bahkan tidak jarang dimanipulir.

4) Baptis Ulang

Baptis ulang sebetulnya tidak merupakan ciri umum dari gerekan kharismatik. Sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya baik YPPI maupun PII sebagai organisasi keagamaan yang bercorak kharismatik jelas-jelas tidak menganjurkan apalagi memaksakan baptis ulang bagi anggota barunya.

Umumnya baptis ulang terjadi karena pemahaman yang tidak Alkitabiah dan tidak jelas tentang apa arti baptisan itu sendiri. Baptisan tidak dipahami sebagai materi persekutuan seumur hidup yang berlaku hanya satu kali antara orang beriman dengan Yesus selaku juruselamat. Bahkan tidak jarang cara baptisan (percik dan selam) yang dipersoalkan dan menjadi kambing hitam untuk menerima baptisan ulang. Seolah-olah cara baptisan menjadi jaminan keselamatan, padahal tidak.

PENUTUP

Di satu pihak kita berterima kasih untuk koreksi yang dilakukan oleh gerakan kharismatik ini khususnya dalam hal kesetiaan berdoa, bersekutu dalam suasana yang ‘lebih gembira dan menyentuh hati’ dan partisipasi warga yang lebih besar dalam pelayanan.

Namun di pihak lain kita menolak kecenderungan pengkotak-kotakan dan menjadi ekstrim dalam soal beriman. Sebab sikap yang demikian tidak memungkinkan terciptanya ruang untuk berdialog, entah itu dengan orang-orang yang seiman dan orang-orang yang tidak seiman. Padahal dalam konteks Indonesia yang majemuk ini, justru ruads untuk berdialog ini yang perlu makin diperlebar.

“Saudara yang kekasih janganlah percaya akan setiap roh, tapi ujilah roh-roh itu apakah mereka berasal dari Allah, sebab banyak nabi-nabi palsu yang muncul dan pergi ke seluruh dunia” (I Yoh.4:1)
Go to top